Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia
terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Ia juga dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh
makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di
kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya,
seperti "Aku Ingin" (sering kali dituliskan bait pertamanya pada
undangan perkawinan), "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Hatiku Selembar Daun", "Kuhentikan Hujan", "Yang Fana Adalah Waktu", "Dalam Doaku", dan "Tentang Matahari". Berikut ini adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi):
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi
Kuhentikan Hujan
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Hujan Di Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Dalam Doaku
Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang diatas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan meski kepada angin yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun disana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
Tentang Matahari
Matahari yang ada di atas kepalamu itu
Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil
Adalah bola lampu yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah alamat
Adalah jam weker yang berdering saat kau bersetubuh
Adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu itu.
0 Comments