Puisi Perpaduan Narasi, Humor, dan Ironi Karya Joko Pinurbo

https://images.solopos.com/2019/10/joko-pinurbo-.jpg 
Joko Pinurbo yang akrab dipanggil Jokpin merupakan salah seorang penyair terkemuka di Indonesia yang Banyak karyanya memiliki gaya dan warna tersendiri dalam dunia puisi Indonesia. Dia telah menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta. Kegemarannya mengarang puisi ditekuninya sejak di Sekolah Menengah Atas. Atas pencapaiannya, Dia piawai menggunakan dan mengolah citraan yang mengacu pada peristiwa dan objek sehari-hari dengan bahasa yang cair tapi tajam. Puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi yang menyentuh absurditas sehari-hari. Di sisi lain, Jokpin gemar mempermainkan dan mendayagunakan keunikan kata-kata bahasa Indonesia sehingga banyak puisinya hanya dapat dibaca dan dinikmati dalam bahasa Indonesia. Berikut adalah karya puisi terbaik Jokpin menurut saya:


1. Kamus Kecil

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu

Walau kadang rumit dan membingungkan.

Ia mengajari saya cara mengarang ilmu

Sehingga saya tahu

Bahwa sumber segala kisah adalah kasih

Bahwa ingin berawal dari angan

Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba

Bahwa segala yang baik akan berbiak

Bahwa orang ramah tidak mudah marah

Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih

Bahwa seorang bintang harus tahan banting

Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan

Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira

Sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembila

Bahwa orang putus asa suka memanggil asu

Bahwa lidah memang pandai berdalih

Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa

Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman.


Bahasa Indonesiaku yang gundah

Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu.

Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat

Dimana kau induk kalimat dan aku anak kalimat

Ketika induk kalimat bilang pulang

Anak kalimat paham

Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung

Ruang penuh raung

Segala kenang tertidur di dalam kening

Ketika akhirnya matamu mati

Kita sudah menjadi kalimat tunggal

Yang ingin tinggal

Dan berharap tak ada yang bakal tanggal.


2. ASU

Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit

saya berpapasan dengan anjing besar

yang melaju dari arah yang saya tuju.

Matanya merah. Tatapannya yang kidal

membuat saya mundur beberapa jengkal.


Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang

menjadi korban gigit anjing gila.

Mereka diserang demam berkepanjangan

bahkan ada yang sampai kesurupan.


Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.

Dulu saya sering menemani Ayah menulis.

Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul

mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”

Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,

Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”

Saat bertemu temannya di jalan,

Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.


Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”

“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.

Kemudian ganti saya ditanya,

“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”

“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.


Sementara saya melangkah mundur,

anjing itu maju terus dengan nyalang.

Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”

Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”

Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.

Dari belakang sana terdengar teriakan,

“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”


3. Pacar Senja

Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.

Pantai sudah sepi dan tak ada yang peduli.

Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja

mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta

peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.


“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”

Cinta seperti penyair berdarah dingin

yang pandai menorehkan luka.

Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.

Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu

melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja

yang masih megap-megap oleh ciuman senja.


“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat

kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium

menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.

Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”

Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.

Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak

dalam gemuruh ombak.
 
 
4. Anak Seorang Perempuan

Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini

sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh

dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang ayah.

Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia

memang suka kencan dengan para lelaki,

tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana

yang tercetak di rahimnya, lalu terbit menjadi saya.


Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang

dan bagi anak seperti saya yang mengalami

kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh

tidak penting-penting amat. Ketika seorang penyair

iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati

atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau gelap,

saya menganggap dia bukan penyair cerdas.

Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya,


“Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul

benih yang tumbuh dalam kata-katamu?”

Sudah ada beberapa lelaki misterius

yang mengaku-aku sebagai ayah saya.

Masing-masing menyatakan cintanya yang tulus

kepada wanita yang melahirkan saya dan mereka

juga merasa bangga terhadap saya.

Sayang, saya tak butuh pahlawan kesiangan.

Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya

tetap menjadi milik rahasia.

Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit.

Tubuhnya makin hari makin lemah.

Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan

sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya

dengan mata berkaca-kaca. Beberapa saat

sebelum beliau wafat, saya sempat lancang

bertanya, “Bu, saya ini sebenarnya anak siapa?”

Saya bayangkan Ibu yang penyayang itu akan

hancur hatinya. Tapi sambil mengusap kepala saya,

ia menjawab hangat, “Anak seorang perempuan.”


5. Surat Batu

Maaf, baru sekarang aku membalas surat

yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.

Waktu itu kamu memintaku merawat

sebuah batu besar di halaman rumahmu

sebelum nanti kamu pahat jadi patung,

Patung itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.


Aku suka duduk membaca dan melamun

di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya.

Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu

dan mungkin terserap ke dalam rahimnya.

Hujan sangat mencintai batumu dan cinta hujan

lebih besar dari cintamu. Aku senang

melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.

Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu

lahir air mancur kecil yang menggemaskan.

Air mancur itu sekarang sudah besar,

sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.

Maaf, jangan ganggu air mancurku.

Bahkan batumu mungkin sudah tak mengenalmu.


6. Surat Kau

Kau tak ada di kakiku

ketika aku membutuhkan langkahmu

untuk merambah rantauku.


Kau tak ada di tanganku

ketika aku membutuhkan jarimu

untuk mengubah gundahku.


Kau tak ada di sarungku

ketika aku membutuhkan jingkrungmu

untuk meringkus dinginku.

Kau tak ada di bibirku

ketika aku membutuhkan aminmu

untuk meringkas inginku.


Kau tak ada di mataku

ketika aku membutuhkan pejammu

untuk merengkuh tidurku.

mungkin kau sudah menjadi aku

sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.


7. Surat Kopi

Lima menit menjelang minum kopi,

aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,

setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”

Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari

bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.

Kau punya bermacam-macam kopi

dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih

kopi yang mana?” Aku menjawab: “Aku pilih kopimu.”

Di mataku telah lahir mata kopi.

Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi.

Apakah puting susu juga mengandung kopi?


Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.

Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.

Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.

Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.

Tiga teguk yang akan datang aku bakal

mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.


8. Surat Pulang


Tenanglah. Aku tak pernah mengharap

oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah.

Kamu bisa pulang dengan rindu

yang masih utuh saja sudah merupakan berkah.


Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot

membawa buah tangan yang hanya akan

membuat tanganku gemetar dan mataku basah.


Aku tahu, kepalamu kian berat

dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor

dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.


Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu

dan tak bisa menemukanmu.

Di manakah kamu? Ke manakah kamu?

Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu.


Pulanglah dengan girang jika pulang

adalah menulis ulang sajak yang rumpang.

Jika kau punya banyak kucing tapi tak punya

ngeong kucing, aku punya malam-malam

bertaburkan ngeong kucing.

Pulanglah dengan lugu. Masih ada pintu untukmu,

bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam

saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku.

Post a Comment

0 Comments