1. Kamus Kecil
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan.
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundah
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu.
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Dimana kau induk kalimat dan aku anak kalimat
Ketika induk kalimat bilang pulang
Anak kalimat paham
Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
Ruang penuh raung
Segala kenang tertidur di dalam kening
Ketika akhirnya matamu mati
Kita sudah menjadi kalimat tunggal
Yang ingin tinggal
Dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
2. ASU
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”
3. Pacar Senja
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak ada yang peduli.
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta
peluk, setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.
4. Anak Seorang Perempuan
Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini
sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh
dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang ayah.
Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia
memang suka kencan dengan para lelaki,
tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana
yang tercetak di rahimnya, lalu terbit menjadi saya.
Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang
dan bagi anak seperti saya yang mengalami
kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh
tidak penting-penting amat. Ketika seorang penyair
iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati
atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau gelap,
saya menganggap dia bukan penyair cerdas.
Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya,
“Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul
benih yang tumbuh dalam kata-katamu?”
Sudah ada beberapa lelaki misterius
yang mengaku-aku sebagai ayah saya.
Masing-masing menyatakan cintanya yang tulus
kepada wanita yang melahirkan saya dan mereka
juga merasa bangga terhadap saya.
Sayang, saya tak butuh pahlawan kesiangan.
Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya
tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit.
Tubuhnya makin hari makin lemah.
Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan
sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya
dengan mata berkaca-kaca. Beberapa saat
sebelum beliau wafat, saya sempat lancang
bertanya, “Bu, saya ini sebenarnya anak siapa?”
Saya bayangkan Ibu yang penyayang itu akan
hancur hatinya. Tapi sambil mengusap kepala saya,
ia menjawab hangat, “Anak seorang perempuan.”
5. Surat Batu
Maaf, baru sekarang aku membalas surat
yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.
Waktu itu kamu memintaku merawat
sebuah batu besar di halaman rumahmu
sebelum nanti kamu pahat jadi patung,
Patung itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.
Aku suka duduk membaca dan melamun
di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya.
Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu
dan mungkin terserap ke dalam rahimnya.
Hujan sangat mencintai batumu dan cinta hujan
lebih besar dari cintamu. Aku senang
melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.
Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu
lahir air mancur kecil yang menggemaskan.
Air mancur itu sekarang sudah besar,
sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.
Maaf, jangan ganggu air mancurku.
Bahkan batumu mungkin sudah tak mengenalmu.
6. Surat Kau
Kau tak ada di kakiku
ketika aku membutuhkan langkahmu
untuk merambah rantauku.
Kau tak ada di tanganku
ketika aku membutuhkan jarimu
untuk mengubah gundahku.
Kau tak ada di sarungku
ketika aku membutuhkan jingkrungmu
untuk meringkus dinginku.
Kau tak ada di bibirku
ketika aku membutuhkan aminmu
untuk meringkas inginku.
Kau tak ada di mataku
ketika aku membutuhkan pejammu
untuk merengkuh tidurku.
mungkin kau sudah menjadi aku
sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.
7. Surat Kopi
Lima menit menjelang minum kopi,
aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”
Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.
Kau punya bermacam-macam kopi
dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih
kopi yang mana?” Aku menjawab: “Aku pilih kopimu.”
Di mataku telah lahir mata kopi.
Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi.
Apakah puting susu juga mengandung kopi?
Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.
Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.
Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.
Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.
Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.
8. Surat Pulang
Tenanglah. Aku tak pernah mengharap
oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah.
Kamu bisa pulang dengan rindu
yang masih utuh saja sudah merupakan berkah.
Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot
membawa buah tangan yang hanya akan
membuat tanganku gemetar dan mataku basah.
Aku tahu, kepalamu kian berat
dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor
dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.
Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu
dan tak bisa menemukanmu.
Di manakah kamu? Ke manakah kamu?
Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu.
Pulanglah dengan girang jika pulang
adalah menulis ulang sajak yang rumpang.
Jika kau punya banyak kucing tapi tak punya
ngeong kucing, aku punya malam-malam
bertaburkan ngeong kucing.
Pulanglah dengan lugu. Masih ada pintu untukmu,
bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam
saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku.
0 Comments